Ali bin Abi Thalib - Biografi
Ali bin Abi Thalib
adalah sahabat yang terkemuka di kalangan umat Islam sekaligus sepupu
Nabi Muhammad yang menjadi khalifah (khulafaur rosyidin) setelah
kekhalifhan Utsman bin Affan. Ali adalah sosok yang cerdas dan tampan.
Ali lahir pada tahun kedua puluh sebelum kenabian, tumbuh berkembang
dalam didikan rumah tangga kenabian, dialah orang pertama yang masuk
Islam dari golongan anak kecil. Sejak kecil Ali telah berada dalam
didikan Rasulullah SAW, sebagaimana dikatakannya sendiri: "Nabi
membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku menyertai beliau
kemanapun beliau pergi, seperti anak unta yang mengikuti induknya. Tiap
hari aku dapatkan suatu hal baru dari karakternya yang mulia dan aku
menerima serta mengikutinya sebagai suatu perintah".
Ali
dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13
Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya
kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan) dan ada
juga yang menyebutkan tahun ke dua puluh sebelum kenabian. Muslim
Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap
Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat
menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun
bahkan 32 tahun.
Ali
bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar
yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai
penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara
kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir
diberi nama Haydar, Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi
(derajat di sisi Allah).
Ayahnya
adalah: Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim,
bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin
Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib,
'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani.
Dengan
demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua
ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam
masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal
sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang
kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang
kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa,
sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang
wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia
pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah
meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian
membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan
beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat
Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya
dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya,
sebagai tangisan seorang anak atas ibunya.
Kehidupan Awal
Kelahiran
Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau
tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib
memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk
mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk
membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau
kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan
Muhammad.
Ali
adalah anak bungsu dari kedua orang tuanya, selain Ja'far, Uqail dan
Thalib. Saat Abu Thalib mengalamai krisis ekonomi karena kekeringan
yang melanda, seperti yang dialami oleh orang-orang Quraisy, Rasulullah
saw menyarankan kepada kedua pamannya: Hamzah dan Abbas untuk turut
membantu meringankan beban saudaranya, Abu Thalib, dengan menanggung
biaya hidup anaknya. Maka keduanya pun memenuhi permintaan tersebut.
Mengetahui hal itu, Abu Thalib berkata kepada kedua saudaranya
tersebut,: "Ambillah siapa yang kalian ingini, namun tinggalkanlah
Uqail, untuk tetap aku didik." Uqail adalah anak yang paling disayangi
oleh Abu Thalib. Maka Abbas mengambil Thalib, Hamzah mengambil Ja'far
dan Rasulullah saw mengambil Ali.
Adalah
Nabi Saw bagi anak keponakannya, Ali KW, bertindak sebagai bapak,
saudara, teman, dan guru pendidik. Dan Ali pun menerima beliau
pengganti kedua orang tua, dan keluarganya. Sehingga ia pun terdidik
dalam didikan Nabi Saw. Ia Merupakan keturunan puncak keluarga
Hasyimiah, yang darinya terlahir kemuliaan, kedermawanan, sifat pemaaf,
ksaih sayang dan hikmah yang lurus.
Seperti
diriwayatkan, ia tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya
tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan
ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh
dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya.
Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng
Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur
beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam
perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga
dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.
Sifat-sifat Ali bin Abi Thalib
Imam
Ali adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan pendek.
Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya berotot,
seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu jenggotnya
lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala. Matanya besar.
Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya tegap dan
proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. Berisi.
Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti
berjalannya Rasulullah Saw. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul
Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata
besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat,
bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur,
dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.
Jika
ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera
maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan
pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah.
Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia
bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk
kemudian membuat mangsa tak berkutik.
Tadi
adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka
ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan. Keberaniannya
menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali Ali
menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan Ali akan
mengalahkannya.
Seorang yang
takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan
tidak pernah melalaikan syari'at. Seorang yang zuhud, dan memilih hidup
dalam kesederhanaan. Ali makan cukup dengan berlaukkan cuka, minyak dan
roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang
kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin
di kala hawa dingin menghempas.
Penuh
hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun
dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan
dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia
meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama
dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian
butiran-butiran air di lautan.
Ali
bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat
ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat
kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang
kepada kesempurnaan. Ali menginginkan agar realitas yang tidak sempurna
berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan
adalah 'anak' dari kritik. Dan ia adalah 'anak' dari filsafat.
Ali
terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung
nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan
peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan
hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak
kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa
dan sastra Arab.
Ali
sangat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta
berbuat baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan isterinya yang
pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang
baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau
kenalannya.
Ia
berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam
sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak
orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan
dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan menjadi
berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang
tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan apa
yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan
adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi. Itu emua
adalah cermin dari percaya dirinya, keimanannya, dan keyakinanya
terhadap Rabb-nya, lantas bagaimana mungkin ia menjadi lembek?
Ali
dengan teguh menolak sikap yang tidak sesuai dengan kebenaran, atau
syari'ah, atau akhlak atau kemuliaan. Jiwanya yang mulia menolak untuk
menipu seorang gubernur yang senang berkuasa, dan yang menghamburkan
kekayaan umat untuk kepentingan hamba nafsunya. Ia tidak tidak peduli
dengan orang yang membenci, atau orang yang memusuhinya.Ali adalah
sifat orang yang kuat, baik dalam kepribadiaannya, pendapatnya dan
dalam memegang kebenaran.
Ali
tidak bersifat lembek, namun ia lebih mementingkan persatuan umat.
Karena orang-orang yang ikut bersidang saat itu sedang berada dalam
kubu-kubu yang saling berbeda pendapat. Maka ia memilih untuk keluar
dari kondisi terburuk menuju kondisi yang buruk. Ia telah menegaskan
hal itu, dan memberi peringatan kepada para pengikutnya. Namun ternyata
orang-orang yang berada di sekitarnya tenggelam dalam perdebatan tanpa
ujung dan pertikaian tanpa henti. Sehingga terjadilah
peristiwa-peristiwa yang memilukan.
Rasa
kasih sayang dalam hatinya-lah yang mendorong dirinya untuk bersikap
lunak dan tidak keras. Hal itu ia lakukan karena ingin menyelamatkan
orang lain, sehingga ia rela meletakkan dirinya dalam bahaya. Ia rela
untuk menebus nyawa orang yang ia kasihi, atau kelompok orang yang
beriman, atau beberapa orang yang sedang diincar oleh musuh, dengan
nyawanya. Sehingga diapun bersikap lunak, dan meminta jalan yang lebih
baik. Agar kasih sayang mengalahkan kecemburuan, kecintaan mengalahkan
kekerasan, dan menjauhkan orang-orang yang ia sayangi dari kebinasaan.
Orang yang membaca apa yang ia pinta kepada Zubair bin Awwam dan
Thalhah bin Abdullah, niscaya akan mengetahui bahwa keduanya telah
mengkhianatinya, dan memeranginya. Maka iapun mengecam keduanya, dengan
kecaman seorang penyayang terhadap orang yang ia sayangi. Ia
mengingatkan keduanya tentang janji-janji yang pernah mereka ucapkan,
dan kebersamaan mereka dalam menegakkan kalimat Allah SWT.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali
bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang
akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi
yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali
yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah
meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan di Madinah
Perkawinan
Setelah
masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri
kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi
menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga
yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an
Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan
banyak hal lain.
Pernikahan dengan Fatimah az-Zahra
Putra Ali melalui Fatimah:
- Hasan bin Ali, yang digelari al-Mujtaba
- Husain bin Ali, yang digelari asy-Syahid
- Muhsin bin Ali, yang meninggal waktu masih dalam kandungan.
Putri Ali melalui Fatimah
- Zainab binti Ali, yang dijuluki Zainab al-Kubra
- Ummu Kultsum, menikah dengan Umar bin Khattab.
- Zaid bin Umar.
Pernikahan dengan Umamah binti Zainab
Umamah
merupakan anak dari Abi Al Aa'sh dan Zainab binti Muhammad, kakak
perempuan dari Fatimah az-Zahra, setelah meninggalnya Fatimah, Umamah
kemudian menikah dengan Ali dan sampai meninggalnya pada tahun 66 H /
685 Masehi tidak memiliki anak seorangpun.
Pernikahan dengan Ummu Banin binti Hizam
Ummu Banin merupakan anak dari Hizam bin Khalid, memiliki 5 anak laki-laki, yaitu:
- Ja’far bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680
- Abdullah bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680
- Utsman bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680
- Umar bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680
- Abbas bin Ali
Pernikahan dengan Laila binti Mas'ud
- Ubaidullah bin Ali
- Abu Bakar bin Ali
Pernikahan dengan Khawlah binti Ja'far al-Hanafiah
- Muhammad Abu Abdullah bin Ali, lebih dikenal dengan Muhammad bin al-Hanafiah, meninggal tahun 67 H.
Pernikahan dengan Al-Sahba' binti Rabi'ah
- Umar bin Ali
Pernikahan dengan Asma binti Umais
Asma
menikah pertama kali dengan Ja'far bin Abu Thalib, kemudian setelah
meninggalnya Ja'far, ia menikah dengan Abu Bakar, memiliki seorang
anak, yang kemudian menjadi anak angkat dari Ali bin Abi Thalib, yang
bernama Muhammad bin Abu Bakar. Setelah meninggalnya Abu Bakar, Asma
binti Umais kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib, dan memiliki
dua anak laki-laki, yaitu:
- Yahya bin Ali
- Muhammad al-Ashgar bin Ali, syahid di Karbala pada tanggal 10 Oktober 680
Julukan
Ketika
Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian
atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu
Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata,
"Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau
tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling
disukai oleh Ali.
Pertempuran yang Diikuti pada Masa Nabi SAW
Beberapa
saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam
sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping
Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali
masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang
lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang
Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika
memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang
bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah
Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum
Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian
tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng
Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat
para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
"Besok,
akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan
diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan
kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai
Allah dan Rasul-Nya".
Maka,
seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan
tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan
itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh
seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya
dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi Wafat
Sampai
disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib,
perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah
berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali
harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak
sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam
suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Menurut
riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan
suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah
seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'), malam hari Rasulullah
saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal
denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah.
Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil
memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib. Dalam khutbahnya itu antara
lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka
Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui
kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan
Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul
Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu
pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah
pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan,
ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali
mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan
setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat.
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan
Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa
kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani
Hasyim.
Keislaman Ali bin Abi Thalib ra. dan Peran Beliau Sebelum Diangkat Menjadi Khalifah
Ali
binAbi Thalib ra. masuk Islam saat beliau berusia tujuh tahun, ada
yang mengatakan delapan tahun, dan ada pula yang mengatakan sepuluh
tahun. Dikatakan bahwa beliau adalah orang yang pertama kali masuk
Islam. Namun yang shahih adalah beliau merupakan bocah yang pertama
kali masuk Islam, sebagaimana halnya Khadijah adalah wanita yang
pertama kali masuk Islam, Zaid bin Haritsah adalah budak yang pertama
kali masuk Islam, Abu Bakar ra adalah lelaki merdeka yang pertama kali
masuk Islam. Ali bin Abi Thalib ra. Memeluk Islam dalam usia muda
disebabkan ia berada di bawah tanggungan Rasulullah saw. Yaitu pada
saat penduduk Makkah tertimpa paceklik dan kelaparan, Rasulullah saw.
mengambilnya dari ayahnya. Ali bin Abi Thalib kecil hidup bersama
Rasulullah saw. Dan ketika Allah mengutus beliau menjadi seorang rasul
yang membawa kebenaran, Khadijah serta ahli bait beliau, termasuk di
dalamnya Ali bin Abi Thalib, segera memeluk Islam. Adapun keislaman
yang bermanfaat dan menyebar manfaatnya kepada manusia adalah keislaman
Abu Bakar ash-Shiddiq Diriwayatkan dari Ali bahwa ia berkata, “Aku
adalah orang yang pertama kali masuk Islam.” namun sanadnya tidak
shahih. Telah diriwayatkan juga haditshadits yang semakna dengan ini
yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir, namun kebanyakan dari hadits itu
adalah munkar dan tidak shahih, wallahu a’lam.
Muhammad
bin Ka’ab al-Qurazhi berkata, “Wanita pertama masuk Islam adalah
Khadijah, kaum lelaki pertama yang masuk Islam adalah Abu Bakar dan Ali
, hanya saja Abu Bakar menyatakan keislamannya sementara Ali
menyembunyikannya.” Menurut saya, “Yang demikian itu karena ia takut
kepada ayahnya, kemudian ayahnya memerintahkannya supaya mengikuti dan
membela keponakannya.” Ali turut berhijrah setelah Rasulullah saw.
keluar dari kota Makkah. Rasulullah saw. menugaskannya untuk
memberaskan hutang piutang beliau dan mengembalikan barang-barang yang
dititipkan kepada beliau. Kemudian Ali menyusul beliau setelah
melaksanakan perintah beliau dan turut berhijrah. Rasulullah saw.
mempersaudarakannya dengan Sahal bin Hunaif .
Ibnu
Ishaq dan penulis sejarah lainnya menyebutkan, “Rasulullah saw.
mempersaudarakannya dengan diri beliau sendiri. Telah diriwayatkan
banyak hadits tentangnya tapi tidak shahih, karena sanadnya dhaif. Dan
sebagian matannya sangat ganjil, dalam sebuah matan disebutkan, ‘Engkau
adalah saudaraku, pewarisku, khalifah setelahku, dan sebaik-baik amir
sepeninggalku’.” Hadits ini maudhu‘ (palsu) dan bertentangan dengan
hadits-hadits yang shahih dalam kitab Shahihain dan kitab-kitab hadits
lainnya. Beliau ikut serta dalam perang Badar dan beliau memiliki jasa
yang besar dalam peperangan tersebut. Beliau juga turut serta dalam
peperangan Uhud, pada saat itu beliau tergabung dalam sayap kanan
pasukan yang memegang panji setelah Mush’ab bin Umair. Beliau juga
turut serta dalam perang Khandaq. Dalam peperangan ini beliau berhasil
menewaskan jagoan Arab dan salah seorang pemberani mereka yang sangat
populer, yakni Amru bin Abdi Wud al-’Amiri. Beliau juga turut serta
dalam perjanjian Hudaibiyah dan Bai’atur Ridhwan. Beliau juga mengikuti
peperangan Khaibar. Dalam peperangan ini beliau menunjukkan aksi yang
luar biasa dan kepahlawanan yang mengagumkan.
Allah
member kemenangan lewat tangannya. Dan dalam peperangan ini beliau
berhasil menewaskan Mirhab al-Yahudi. Beliau juga turut serta dalam
Umrah Qadha’. Pada saat itulah Rasulullah saw. berkata kepadanya,
“Engkau bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.” Adapun kisah yang
banyak diceritakan oleh para qushshash (tukang cerita) bahwa beliau
pernah bertarung melawan jin di sumur Dzatul ilmi,880 sebuah sumur di
dekat Juhfah, adalah kisah yang tidak ada asal-usulnya. Kisah itu
termasuk kisah yang diada-adakah oleh orang-orang jahil dan tukang
cerita, janganlah
terpedaya
dengannya. Beliau juga mengikuti penaklukan kota Makkah, peperangan
Hunain dan ath-Thaif. Beliau berperang dengan gagah berani lalu beliau
berumrah bersama Rasulullah saw. dari al-Ji’ranah. Ketika Rasulullah
saw. berangkat ke Tabuk, beliau mengangkatnya sebagai pengganti beliau
di Madinah. la berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw.
apakah engkau membiarkan aku bersama kaum wanita dan anak-anak?”
Rasulullah saw. berkata kepadanya, ” Tidakkah engkau ridha kedudukanmu
di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada
nabi setelahku. “
Rasulullah
saw. mengutusnya sebagai amir dan hakim di negeri Yaman bersama dengan
Khalid bin al-Walid. Kemudian beliau menyusul Rasul pada haji wada’ ke
Makkah dengan membawa onta korban beliau. la bertahallul sebagaimana
tahallulnya. Rasulullah saw. dan memberinya bagian dari hewan korban
beliau. Lalu ia tetap mengenakan kain ihramnya bersama Rasulullah saw.
dan menyembelih hewan korban bersama beliau setelah menyelesaikan
manasik haji. Ketika Rasulullah saw. sakit, al-Abbas berkata kepadanya,
“Tanyalah kepada Rasulullah saw. , siapakah yang berhak meme-gang
kepemimpinan setelah beliau?” Ali berkata, “Demi Allah aku tidak akan
menanyakannya kepada beliau, sebab apabila beliau melarangnya dari kita
maka orang-orang tidak akan menyerahkannya kepada kita selama-lamanya.”
Hadits-hadits
yang shahih dan jelas menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak
mewasiatkan jabatan kekhalifahan kepadanya ataupun kepada selainnya.
Bahkan beliau mengisyaratkan dengan menyebut Abu Bakar. Beliau member
isyarat yang dapat dipahami dan sangat jelas sekali maksudnya. Seperti
yang telah kami sebutkan dalam juz sebelumnya, alhamdulillah.
Adapun
kebohongan yang dilontarkan oleh orang-orang jahil dari kalangan
Syi’ah dan tukang cerita yang bodoh bahwa Rasulullah saw. telah
mewasiatkan jabatan kekhalifahan kepada Ali jelas merupakan sebuah
kedustaan dan kebohongan yang sangat besar yang menjerumuskan mereka ke
dalam kesalahan yang sangat besar pula. Seperti tuduhan para sahabat
telah berkhianat dan bersepakat menggagalkan wasiat Rasulullah saw. dan
menahannya dari orang yang telah diberi wasiat. Lalu menyerahkannya
kepada orang lain tanpa alasan dan sebab. Setiap mukmin yang beriman
kepada Allah dan RasulNya, meyakini bahwa Dienul Islam adalah haq pasti
mengetahui batil-nya kedustaan ini. Karena para sahabat adalah
sebaik-baik manusia setelah para nabi. Mereka adalah generasi terbaik
umat ini yang merupakan umat terbaik di dunia maupun di akhirat
berdasarkan nash al-Qur’an serta berda-sarkan ijma’ salaf dan khalaf,
alhamdulillah.
Adapun
cerita yang disampaikan oleh orang-orang awam tukang cerita di
pasar-pasar tentang wasiat-wasiat yang khusus diberikan kepada Ali
dalam hal adab (etika), akhlak, adab makan dan minum, adab berpakaian,
seperti cerita mereka, “Wahai Ali, janganlah pakai imamah (sorban)
sambil duduk. Wahai Ali, janganlah pakai celanamu sambil berdiri. Wahai
Ali, janganlah memegang tiang pintu. Dan janganlah duduk di depan
pintu. Janganlah menjahit pakaian yang sedangeng kau kenakan.” Dan
wasiat-wasiat sejenis-nya. Semua itu adalah cerita kosong yang tidak
ada asal-usulnya. Bahkan termasuk dusta, bohong dan palsu.
Kemudian,
ketika Rasulullah saw. wafat, Ali termasuk salah seorang yang
memandikan, mengkafani dan mengebumikan jenazah Rasulullah saw. Ketika
Abu Bakar ash-Shiddiq dibai’at menjadi khalifah pada hari Saqifah, Ali
termasuk salah seorang yang berbai’at di masjid, seperti yang telah
kami jelaskan sebelumnya.885 Abu Bakar ash-Shiddiq dalam pandangan Ali
bin Abi Thalib ra. sama seperti para umara’ dari kalangan sahabat yang
lainnya, beliau berpandangan mentaati Abu Bakar merupakan kewajibannya
dan merupakan perkara yang paling ia sukai. Ketika Fathimah wafat enam
bulan setelah Rasulullah saw. ketika itu ia kurang puas terhadap
beberapa keputusan Abu Bakar disebabkan warisan yang tidak ia peroleh
dari ayahnya. Ia belum mengetahui nash khusus dalam masalah ini bagi
para nabi, yakni mereka tidak mewariskan harta warisan kepada sanak
famili.
Ketika
hal itu sampai kepadanya ia me-minta kepada Abu Bakar agar mengangkat
suaminya sebagai pengawas sedekah (harta warisan) tersebut, akan tetapi
Abu Bakar menolaknya. Maka ia terus memendam ketidakpuasan terhadap
Abu Bakar seperti yang telah kami jelaskan terdahulu. Maka Ali berusaha
mengambil hati istrinya. Setelah Fathimah wafat, Ali memperbaharui
kembali bai’atnya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq Ketika Abu Bakar wafat
lalu Umar memegang jabatan khalifah atas dasar wasiat Abu Bakar
kepadanya, Ali bin Abi Thalib ra. termasuk salah seorang sahabat yang
membai’at Umar. Ali selalu bersama Umar dan memberikan masukan positif
kepadanya. Disebutkan bahwa Umar memintanya menjadi qadhi (hakim) pada
masa kekhalifahannya. Beliau menyertai Umar bersama para tokoh dari
kalangan sahabat ke negeri Syam dan menghadiri khutbah Umar di
al-Jabiyah.
Ketika
Umar ditikam dan beliau menyerahkan urusan musyarawah kepada enam
orang sahabat, salah seorang di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib ra.
Lalu mereka menetapkan dua orang calon, yaitu Utsman dan Ali. Lalu
Utsman terpilih menjadi khalifah. Namun begitu, Ali tetap mendengar dan
taat kepada Utsman.
Sebagai Khalifah
Peristiwa
pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan
kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang
sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai
Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan
Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima
bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at
secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang
berbeda-beda.
Sebagai
Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa
pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah
Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang
saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang
Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan
Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah
binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh
pihak Ali.
Peristiwa
pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan
waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur
meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW
ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para
pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan
perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang
tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi
hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan
kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Nash Wasiat Ali bin Abi Thalib
“Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penya-yang, ini
adalah wasiat Ali bin Abi Thalib ra., bahwasanya dia bersaksi tiada
ilah yang berhak disembah selain Allah semata tiada sekutu bagiNya. Dan
bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Yang telah mengutusnya
dengan membawa hidayah dan dien yang haq agar mengatasi segala agama
walaupun orang-orang musyrikin benci. Kemudian setelah itu,
sesungguhnya shalatku, ibadahku (yakni penyembelihan korban), hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu
bagiNya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku termasuk
seorang muslim.
Aku
wasiatkan kepadamu hai Hasan, juga kepada seluruh putera-puteri,
istri-istriku dan siapa saja yang sampai kepadanya wasiatku ini agar
bertakwa kepada Allah dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam. Berpegang teguhlah kalian seluruhnya
dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah, sesungguhnya aku
mendengar Abul Qasim s|i bersabda, “Sesungguhnya mendamaikan dua pihak
yang berselisih lebih utama daripada banyak ibadah shalat dan puasa.“
Perhatikanlah
hak-hak karib kerabatmu, sambunglah tali silaturahim dengan mereka
niscaya Allah akan meringankan hisabmu. Jagalah hak-hak anak yatim!
Jangan sampai mulut mereka tidak berisi makanan (jangan sampai mereka
kelaparan). Janganlah mereka terlantar di hadapan kalian. Peliharalah
hak-hak tetanggamu, sesungguhnya nabi kalian telah berwasiat agar
berbuat baik kepada tetangga. Beliau senantiasa mewasiatkannya
se-hingga kami mengira beliau akan memberi hak waris bagi tetangga.
Jagalah hak-hak al-Qur’an, janganlah kalian didahului orang lain dalam
mengamal-kannya. Jagalah ibadah shalat, karena shalat adalah tiang
agama kalian. Jagalah hak-hak rumah Rabb kalian (masjid), janganlah
sampai kosong selama kalian masih hidup. Sesungguhnya apabila kalian
meninggalkannya niscaya kalian tidak akan dihiraukan. Peliharalah
ibadah bulan Ramadhan. Karena berpuasa pada bulan Ramadhan adalah
perisai dari api neraka. Peliharalah jihad fi sabilillah dengan harta
dan jiwa raga kalian. Jagalah pembayaran zakat, karena zakat dapat
memadamkan kemarahan Ar-Rabb. Jagalah hak-hak orang yang dilindungi
oleh nabi kalian, janganlah mereka dizhalimi dihadapan kalian. Jagalah
hak-hak sahabat nabi kalian, sesungguhnya Rasulullah saw. telah
mewasiatkan agar menjaga hak-hak mereka. Jagalah hak-hak kaum faqir
miskin, berilah mereka dari sebagian rezeki kalian. Jagalah hak-hak
budak yang kalian miliki, karena itulah pesan terakhir yang disampaikan
oleh Rasulullah saw. beliau bersabda, “Aku mewasiatkan agar kalian
memperhatikan dua manusia yang letnah, yakni wanita dan budak-budak
yang kalian miliki.“
Jagalah
ibadah shalat, jagalah ibadah shalat, janganlah kalian takut terhadap
celaan orang-orang yang suka mencela dalam menegakkan agama Allah
niscaya kalian akan terhindar dari kejahatan orang-orang yang
bermak-sud jahat kepadamu dan ingin berlaku semena-mena terhadapmu.
Berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik seperti yang telah
Allah perintahkan kepadamu. Janganlah kalian tinggalkan amar ma’ruf nahi mungkar,
jika tidak maka orang-orang yang jahat akan berkuasa atas kalian
sehingga doa kalian tidak dikabulkan. Hendaklah kalian saling
menyambung ikatan dan saling memberi, dan hindarilah saling
membelakangi, saling memutus hubungan dan berpecah belah.
Bertolongtolonganlah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, janganlah
bertolong-tolongan dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Bertakwalah
kepada Allah sesungguhnya Allah Mahakeras siksaNya. Semoga Allah
menjaga kalian dari dan semoga Allah menjaga nabi kalian di
tengah-tengah kalian, aku ucapkan selamat berpisah wassalamu ‘alaikum
iva rahmatullah.”
Wafat
Amirul
Mukminin menghadapi masalah yang berat, kondisi negara saat itu tidak
stabil, pasukan beliau di Iraq dan di daerah lainnya membang-kang
perintah beliau, mereka menarik diri dari pasukan. Kondisi di wilayah
Syam juga semakin memburuk. Penduduk Syam tercerai berai ke utara dan
selatan. Setelah peristiwa tahkim penduduk Syam menyebut Mu’awiyah
sebagai amir. Seiring bertambahnya kekuatan penduduk Syam semakin lemah
pula kedudukan penduduk Iraq. Padahal amir mereka adalah Ali bin Abi
Thalib ra. sebaik-baik manusia di atas muka bumi pada zaman itu, beliau
yang paling taat, paling zuhud, paling alim dan paling takut kepada
Allah. Namun walaupun demikian, mereka meninggalkannya dan
membiarkannya seorang diri. Padahal Ali telah memberikan hadiah-hadiah
yang melimpah dan harta-harta yang banyak. Begitulah perlakuan mereka
terhadap beliau, hing-ga beliau tidak ingin hidup lebih lama dan
mengharapkan kematian.
Karena
banyaknya fitnah dan merebaknya pertumpahan darah. Beliau sering
berkata, ” Apakah gerangan yang menahan peristiwa yang dinanti-nanti
itu? Mengapa ia belum juga terbunuh?” Kemudian beliau berkata, “Demi
Allah, aku akan mewarnai ini sembari menunjuk jenggot beliau- dari
sini!” -sembari menunjuk kepala beliau.
Kronologis Terbunuhnya Ali
Ibnu
Jarir dan pakar-pakar sejarah lainnya menyebutkan bahwa tiga orang
Khawarij berkumpul, mereka adalah Abdurrahman bin Amru yang dikenal
dengan sebutan Ibnu Muljam al-Himyari al-Kindi sekutu Bani Jaba-lah
dari suku Kindah al-Mishri, al-Burak bin Abdillah at-Tamimi dan Amru
bin Bakr at-Tamimi. Mereka mengenang kembali perbuatan Ali bin Abi
Thalib ra. yang membunuh teman-teman mereka di Nahrawan, mereka
memo-hon rahmat buat teman-teman mereka itu. Mereka berkata, “Apa yang
kita lakukan sepeninggal mereka? Mereka adalah sebaik-baik manusia dan
yang paling banyak shalatnya, mereka adalah penyeru manusia kepada
Allah. Mereka tidak takut celaan orang-orang yang suka mencela dalam
menegakkan agama Allah. Bagaimana kalau kita tebus diri kita lalu kita
da tangi pemimpin-pemimpin yang sesat itu kemudian kita bunuh mereka
sehingga kita membe-baskan negara dari kejahatan mereka dan kita dapat
membalas dendam atas kematian teman-teman kita.”
Ibnu Muljam berkata, “Aku akan menghabisi Ali bin Abi Thalib ra.!”
Al-Burak bin Abdillah berkata, “Aku akan menghabisi Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”
Amru
bin Bakr berkata, “Aku akan menghabisi Amru bin al-Ash.” Merekapun
berikrar dan mengikat perjanjian untuk tidak mundur dari niat semula
hingga masing-masing berhasil membunuh targetnya atau terbunuh.
Merekapun mengambil pedang masing-masing sambil menyebut nama sahabat
yang menjadi targetnya. Mereka sepakat melakukannya serempak pada
tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Kemudian ketiganya berangkat menuju
tempat target masing-masing.
Adapun
Ibnu Muljam berangkat ke Kufah. Setibanya di sana ia menyembunyikan
identitas, hingga terhadap teman-temannya dari kalangan Khawarij yang
dahulu bersamanya. Ketika ia sedang duduk-duduk bersama beberapa orang
dari Bani Taim ar-Ribab, mereka mengenang teman-teman mereka yang
terbunuh pada peperangan Nahrawan. Tiba-tiba datanglah seorang wanita
bernama Qatham binti Asy-Syijnah, ayah dan abangnya dibunuh oleh Ali
pada peperangan Nahrawan. La adalah wanita yang sangat cantik dan
populer. Dan ia telah mengkhususkan diri beribadah dalam masjid jami’.
Demi melihatnya Ibnu Muljam mabuk kepayang. Ia lupa tujuannya datang ke
Kufah. Ia meminang wanita itu. Qatham mensyaratkan mahar tiga ribu
dirham, seorang khadim, budak wanita dan membunuh Ali bin Abi Thalib
ra. untuk dirinya. Ibnu Muljam berkata, “Engkau pasti mendapatkannya,
demi Allah tidaklah aku datang ke kota ini melainkan untuk membunuh
Ali.”
Lalu
Ibnu Muljam menikahinya dan berkumpul dengannya. Kemudian Qathami
mulai mendorongnya untuk melaksanakan tugasnya itu. Ia meng-utus
seorang lelaki dari kaumnya bernama Wardan, dari Taim Ar-Ribab, untuk
menyertainya dan melindunginya. Lalu Ibnu Muljam juga menggaet seorang
lelaki lain bernama Syabib bin Bajrah al-Asyja’i al-Haruri. Ibnu Muljam
berkata kepadanya, “Maukah kamu memperoleh kemuliaan dunia dan
akhirat?” “Apa itu?” Tanyanya. “Membunuh Ali!” Jawab Ibnu Muljam. Ia
berkata, “Celaka engkau, engkau telah mengatakan perkara yang sangat
besar! Bagaimana mungkin engkau mampu membunuhnya?” Ibnu Muljam
berkata, “Aku mengintainya di masjid, apabila ia keluar untuk
mengerjakan shalat subuh, kita mengepungnya dan kita membunuhnya.
Apabila berhasil maka kita merasa puas dan kita telah membalas dendam.
Dan bila kita terbunuh maka apa yang tersedia di sisi Allah lebih baik
dari-pada dunia.” Ia berkata, “Celaka engkau, kalaulah orang itu bukan
Ali tentu aku tidak keberatan melakukannya, engkau tentu tahu
senioritas beliau dalam Islam dan kekerabatan beliau dengan Rasulullah
saw. Hatiku tidak terbuka untuk membunuhnya.”
Ibnu Muljam berkata, “Bukankah ia telah membunuh teman-teman kita di Nahrawan?”
“Benar!”
jawabnya. “Marilah kita bunuh ia sebagai balasan bagi teman-teman kita
yang telah dibunuhnya” kata Ibnu Muljam. Beberapa saat kemudian Syabib
menyambutnya. Masuklah bulan Ramadhan. Ibnu Muljam membuat kesepakatan
dengan teman-temannya pada malam Jum’at 17 Ramadhan. Ibnu Muljam
berkata, “Malam itulah aku membuat kesepakatan dengan teman-temanku
untuk membunuh target masing-masing. Lalu mulailah ketiga orang ini
bergerak, yakni Ibnu Muljam, Wardan dan Syabib, dengan menghunus pedang
masing-masing. Mereka duduk di hadapan pintu yang mana Ali biasa keluar
dari-nya. Ketika Ali keluar, beliau membangunkan orang-orang untuk
shalat sembari berkata, “Shalat….shalat!” Dengan cepat Syabib menyerang
dengan pedang-nya dan memukulnya tepat mengenai leher beliau. Kemudian
Ibnu Muljam menebaskan pedangnya ke atas kepala beliau. Darah beliau
mengalir mem-basahi jenggot beliau . Ketika Ibnu Muljam menebasnya, ia
berkata, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan
milik teman-temanmu, hai Ali!” Ia membaca firman Allah:
“Dan
di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari
keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.”
(Al-Baqarah: 207).
Ali
berteriak, “Tangkap mereka!” Adapun Wardan melarikan diri namun
berhasil dikejar oleh seorang lelaki dari Hadhramaut lalu membunuhnya.
Adapun Syabib, berhasil menye-lamatkan diri dan selamat dari kejaran
manusia. Sementara Ibnu Muljam berhasil ditangkap. Ali menyuruh Ja’dah
bin Hubairah bin Abi Wahab untuk mengimami Shalat Fajar. Ali pun
dibopong ke rumahnya. Lalu digiring pula Ibnu Muljam kepada beliau dan
dibawa kehadapan beliau dalam keadaan dibelenggu tangannya ke belakang
pundak, semoga Allah memburukkan rupanya. Ali berkata kepadanya,” Apa
yang mendorongmu melakukan ini?” Ibnu Muljam berkata, “Aku telah
mengasah pedang ini selama empat puluh hari. Aku memohon kepada Allah
agar aku dapat membunuh dengan pedang ini makhlukNya yang paling
buruk!”
Ali
berkata kepadanya, “Menurutku engkau harus terbunuh dengan pedang itu.
Dan menurutku engkau adalah orang yang paling buruk.” Kemudian beliau
berkata, “Jika aku mati maka bunuhlah orang ini, dan jika aku selamat
maka aku lebih tahu bagaimana aku harus memperlakukan orang ini!”
Pemakaman Jenazah Ali bin Abi Thalib
Setelah
Ali wafat, kedua puteranya yakni al-Hasan dan al-Husein memandikan
jenazah beliau dibantu oleh Abdullah bin Ja’far. Kemudian jenazahnya
dishalatkan oleh putera tertua beliau, yakni al-Hasan. Al-Hasan
bertakbir sebanyak sembilan kali. Jenazah Ali dimakamkan di Darul
Imarah di Kufah, karena kekhawa-tiran kaum Khawarij akan membongkar
makam beliau. Itulah yang masyhur. Adapun yang mengatakan bahwa jenazah
beliau diletakkan di atas kendaraan beliau kemudian dibawa pergi entah
ke mana perginya maka sungguh ia telah keliru dan mengada^ada sesuatu
yang tidak diketahuinya. Akal sehat dan syariat tentu tidak membenarkan
hal semacam itu. Adapun keyakinan mayoritas kaum Rafidhah yang jahil
bahwa makam beliau terletak di tempat suci Najaf, maka tidak ada dalil
dan dasarnya sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa makam yang terletak
di sana adalah makam al-Mughirah bin Syu’bah . Al-Khathib al-Baghdadi
meriwayatkan dari al-Hafizh Abu Nu’aim dari Abu Bakar Ath-Thalahi dari
Muhammad bin Abdillah al-Hadhrami al-Hafizh Muthayyin, bahwa ia
berkata, “Sekiranya orang-orang Syi’ah menge-tahui makam siapakah yang
mereka agung-agungkan di Najaf niscaya mereka akan lempari dengan batu.
Sebenarnya itu adalah makam al-Mughirah bin Syu’bah.
Al-Hafizh
Ibnu Asakir meriwayatkan dari al-Hasan bin Ali, ia berkata, “Aku
mengebumikan jenazah Ali di kamar sebuah rumah milik keluarga ja’dah.”
Abdul Malik bin Umair bercerita, “Ketika Khalid bin Abdullah meng-gali
pondasi di rumah anaknya bernama Yazid, mereka menemukan jenazah
seorang Syaikh yang terkubur di situ, rambut dan jenggotnya telah
memutih. Seolah jenazah itu baru dikubur kemarin. Mereka hendak
membakarnya, namun Allah memalingkan niat mereka itu. Mereka
membungkusnya dengan kain Qubathi, lalu diberi wewangian dan dibiarkan
terkubur di tempat semu-la. Tempat itu berada dihadapan pintu
al-Warraqin setelah kiblat masjid di rumah tukang sepatu. Hampir tidak
pernah seorang pun bertahan di tempat itu melainkan pasti akan pindah
dari situ.
Diriwayatkan
dari Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, ia berkata, “Jenazah Ali
dishalatkan pada malam hari dan dimakamkan di Kufah, tem-patnya sengaja
dirahasiakan, namun yang pasti di dekat gedung imarah (istana
kepresidenan).”
Ibnu
Kalbi berkata, “Turut mengikuti proses pemakaman jenazah Ali pada
malam itu al-Hasan, al-Husain, Ibnul Hanafiyyah, Abdullah bin Ja’far
dan keluarga ahli bait beliau yang lainnya. Mereka memakamkannya di
dalam kota Kufah, mereka sengaja merahasiakan makam beliau karena
kekhawa-tiran terhadap kebiadaban kaum Khawarij dan kelompok-kelompok
lainnya.
Tanggal Terbunuhnya Ali bin Abi Thalib
Ali
ra, terbunuh pada malam Jum’at waktu sahur pada tanggal 17 Ramadhan
tahun 40 H. Ada yang mengatakan pada bulan Rabi’ul Awwal. Namun
pendapat pertama lebih shahih dan populer.Ali ditikam pada hr Jum’at 17
Ramadhan tahun 40 H, tanpa ada perselisihan. Ada yang mengatakan
beliau wafat pada hari beliau ditikam, ada yang mengatakan pada hari
Ahad tanggal 19 Ramadhan. Al-Fallas berkata, “Ada yang mengatakan,
beliau ditikam pada malam dua puluh satu Ramadhan dan wafat pada malam
dua puluh empat dalam usia 58 atau 59 tahun.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar