Sa’id bin Zaid ra. - Biografi
Aku serahkan diriku kepada Dzat
yang kepada-Nya bumi juga telah berserah diri
dengan memikul batu-batu yang berat
Dzat yang telah menjadikan bumi bulat
Dzat yang telah menciptakan bumi dengan sempurna
Dzat yang telah memancangkan gunung-gunung
dengan kokoh di atasnya
Aku serahkan diriku kepada Dzat
yang kepada-Nya awan-awan telah menyerahkan diri
dengan membawa air yang tawar
Ketika awan-awan itu dibawa ke suatu negeri, dia akan taat
lalu dia akan menurunkan hujan di atasnya…
Zaid bin ‘Amr bin Nufail (ayah Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu) membawakan bait-bait syair tersebut, lalu dia memandang ke arah Ka’bah seraya berucap, “Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu, wahai Tuhanku. Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu dengan sebenar-benarnya.”
Zaib bin ‘Amr bin Nufail merupakan putra dari paman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Dia hidup sebelum Islam datang dan sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dengan fitrah atau tabiatnya yang lurus, dia pun mendapat petunjuk
untuk menyembah Allah, sehingga dia tidak pernah menyembah
berhala-berhala ataupun menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada
berhala-berhala itu seperti yang biasa dilakukan oleh kaum musyrikin
di Makkah pada saat itu.
Dia pernah berkata kepada penduduk Makkah, “Wahai
kaum Quraisy, Allah telah menurunkan hujan untuk kalian, menumbuhkan
tanaman untuk kalian, dan menciptakan kambing untuk kalian, tetapi
mengapa kalian menyembelih binatang-binatang ini untuk selain Allah?
Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
Mendengar ini, Khaththab bin ‘Amr bin Nufail pun berdiri dan memukul wajahnya, lalu dia berkata kepadanya: ”Celakalah kamu, sungguh kita sudah terlalu bersabar terhadapmu.”
Selanjutnya,
Khaththab menyiksanya dengan siksaan yang pedih, hingga akhirnya Zaid
pun terpaksa keluar dari Makkah. Dia tidak pernah kembali ke Makkah,
kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Hal itu karena dia merasa takut
kepada pamannya, Khaththab ayah ‘Umar radhiallahu ‘anhu.
Di
Makkah Zaid bin ‘Amr mengadakan pertemuan dengan Waraqah bin Naufal,
‘Abdullah bin Jahsy, dan Umaimah binti Harits (bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Selain mereka, dalam pertemuan itu ada juga ‘Ustman bin Huwairits.
Zaid berkata kepada mereka, “Demi
Allah, kalian semua telah mengetahui bahwa kaum kalian telah
menyimpang dari ajaran –ajaran agama Ibrahim. Mengapa kita berthawaf
mengelilingi batu yang tidak bisa mendengar dan melihat serta tidak
dapat memberikan mudharat dan juga manfaat ? Wahai kaum, carilah agama
untuk kalian semua. Demi Tuhan, kita bukanlah apa-apa.”
Mereka
kemudian berpencar ke segala penjuru negeri untuk mencari agama yang
benar. Adapun Waraqah bin Naufal telah memeluk agama Masehi, sementara
‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Utsman bin Huwairits masih melanjutkan
pencarian terhadap agama yang benar itu, hingga akhirnya datanglah
Islam. ‘Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu pun beriman dan masuk Islam, hingga akhirnya dia terbunuh sebagai syahid dalam perang Uhud, lalu dia dijuluki dengan julukan Asy-Syahid Al-Mujadda’ (syahid yang tangannya terpotong).
Tinggalah Zaid bin ‘Amr yang telah pergi ke negeri Syam untuk mencari agama Ibrahim ‘alaihissalam,
hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pendeta di Syam. Dia
menceritakan hal itu kepada pendeta tersebut. Sang pendeta pun berkata, “Sesungguhnya
kamu sedang mencari agama yang sudah tidak ada. Oleh karena itu,
pulanglah ke Makkah, karena sesungguhnya Allah akan mengutus kepada
kalian orang yang memperbaharui agama Ibrahim itu. Pergilah, lalu
berimanlah kepadanya dan ikutilah dia!”
Ketika Zaid masih berada dalam perjalanan menuju Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah diutus sebagai rasul. Saat itu Zaid belum mengetahui bahwa
Rasulullah telah diutus. Sayangnya, kematian telah lebih dulu
menjemputnya sebelum dia beriman. Dia telah dibunuh oleh sebagian orang
Badui (Arab pedalaman).
Ketika kisah ini diceritakan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menceritakan tentang sosok Zaid, “ Sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat (nanti) seorang diri sebagai satu umat (yang terpisah).”
Menjelang hembusan nafas terakhirnya, Zaid berkata, “Ya
Allah, jika Engkau memang tidak menghendaki kebaikan ini (agama Islam)
untukku, maka janganlah Engkau halangi anakku (Sa’id) darinya.”
Doa
Zaid ini masih menggantung di antara langit dan bumi, hingga pada
suatu hari ketika Sa’id sedang berada di Makkah, dia mengetahui bahwa
Rasulullah telah diutus. Karenanya, dia beserta istrinya, Fatimah binti
Khaththab, yang merupakan saudara perempuan ‘Umar bin Khaththab, segera
beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keislaman mereka berdua itu terjadi pada awal munculnya Islam, sebelum masuknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam rumah Arqam bin Abi Arqam (Daarul Arqam).
Said
masih merahasiakan keimanannya dan dia sangat sabar menghadapi siksaan
yang berasal dari kaumnya, sehingga dia pun tidak diusir dari Makkah,
seperti yang dialami sebelumnya oleh orang tuanya. Akan tetapi
kemudian, ‘Umar mengetahui keimanan Sa’id. ‘Umar pun bermaksud
membunuhnya, lalu dia memukulnya hingga darah mengalir dari wajah Sa’id
. Akan tetapi, kesabaran Sa’id dalam menghadapi sikap ‘Umar inilah
yang menjadi salah satu faktor penyebab masuknya ‘Umar radhiallahu ‘anhu ke dalam Islam.
Sa’id pergi berhijrah ke Madinah bersama istrinya, Fathimah. Sebelum terjadinya perang Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah memilihnya dan mengutusnya untuk pergi bersama Thalhah bin
Ubaidillah dengan tujuan agar dia mengetahui jumlah pasukan kaum
musyrikin dan mematai gerak-gerik mereka. Oleh karena itu, Sa’id pun
tidak ikut serta dalam peperangan Badar. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah memberinya bagian ghanimah (harta rampasan) yang diperoleh
dalam perang tersebut. Dia dianggap seperti orang yang ikut serta dalam
perang itu.
Setelah itu Sa’id ikut serta dalam setiap peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dia bertempur dengan menggunakan pedangnya dan beriman dengan
menggunakan hatinya. Bahkan pada suatu hari dia pernah berada bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Hira’ dengan para shahabat lainnya. Ketika itu tiba-tiba gunung Hira’ bergetar, maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “
Tenanglah, wahai Hira’, karena sungguhnya tidak ada yang berada di
atasmu, kecuali seorang nabi, seorang yang sangat jujur (ash-shiddiq),
dan seorang syahid.”
Ketika orang-orang bertanya kepada Sa’id, “Siapa sajakah yang bersamamu pada saat itu ?”
Sa’id pun menjawab, “Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Zubair, Thalhah, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Malik.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda tentang Sa’id, “Sa’id bin Zaid di surga.”
Sa’id merupakan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhoinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar