Minggu, 04 Mei 2014

KALIMAT TAHMID

Sebenarnya, setiap muslim dianjurkan untuk senantiasa memuji Allah kapanpun juga. Sebab di seluruh waktunya, pasti ia berada dalam curahan nikmat Allah ta’ala. Entah itu berupa nikmat duniawi maupun ukhrawi. Baik itu berupa kebaikan yang didapatkan atau marabahaya yang terhindarkan.
Alasan lain mengapa kita perlu untuk senantiasa memuji Allah, adalah sebab Dia adalah dzat yang pantas untuk selalu dipuji; dikarenakan kesempurnaan sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Masing-masing dari nama dan sifat-Nya mendorong kita untuk memuji-Nya, bagaimana bila seluruh nama dan sifat tersebut terkumpul dalam satu dzat, yakni Allah ta’ala?
Namun, ada beberapa kondisi yang mendapat penekanan khusus dari agama, agar seorang hamba mengucapkan kalimat tahmid pada saat itu. Di antaranya:
1. Setelah selesai makan dan minum
Hal ini berlandaskan firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Baqarah (2): 172, juga sabda Rasulshallallahu ‘alaihiwasallam, “Sesungguhnya Allah akan meridhai hamba-Nya manakala selesai makan atau minum ia memuji-Nya”. HR. Muslim dari Anas bin Malik.
Redaksi hamdalah atau pujian pada Allah setelah selesai makan ada beberapa macam. Antara lain:
a. “الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْداً كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، غَيْرَ مَكْفِيٍّ، وَلَا مُوَدَّعٍ، وَلَا مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبُّنَا”
Alhamdulillâhi hamdan katsîron thoyyiban mubârokan fîhi, ghoiro makfiyyin, wa lâ muwadda’in, wa lâ mustaghnâ ‘anhu robbunâ”.
Artinya: “Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan diberkahi. Pujian yang tidak tertolak, tidak ditinggalkan dan tidak dibuang (bahkan dibutuhkan). (Dialah) Rabb kami”.HR. Bukhari.
b. “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ”
Alhamdulillâhilladzî ath’amanî hâdzâ wa rozaqonîhi min ghoiri haulin minnî wa lâ quwwatin”.
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, tanpa adanya daya dan kekuatan dariku”. HR. Abu Dawud dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim. Adapun Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini hasan[1].
Catatan:
Masih ada redaksi hamdalah sesudah makan lainnya yang berlandaskan hadits sahih. Banyak di antaranya telah disebutkan oleh Imam an-Nawawy dalam kitabnya al-Adzkâr[2]. Adapun redaksi yang masyhur di kalangan banyak kaum muslimin yang berbunyi: “Alhamdulillahilladzî ath’amanâ wa saqônâ wa ja’alanâ minal muslimîn”, redaksi ini disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan yang lainnya. Hanya saja hadits ini dinilai lemah oleh Imam adz-Dzahaby[3] dan Syaikh al-Albany[4]; dikarenakan sanadnya bermasalah[5].

2. Ketika shalat, terutama saat i’tidal (berdiri setelah ruku’ sebelum sujud).
Banyak redaksi hamdalah untuk momen ini, di antaranya:
a. Robbanâ wa lakal hamdu hamdan katsîron thoyyiban mubârokan fîhi.
Dalilnya: hadits yang dituturkan Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqy radhiyallahu’anhu,
كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ: “سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ”. قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: “رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ”. فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: “مَنْ الْمُتَكَلِّمُ؟”، قَالَ: “أَنَا”، قَالَ: “رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ”.
“Suatu hari kami shalat di belakang Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Saat mengangkat kepalanya setelah ruku’, beliau membaca, “Sami’allôhu liman hamidah (Allah mendengar siapa yang memuji-Nya)”.
Seorang makmum menimpali, “Robbanâ wa lakal hamdu hamdan katsîron thoyyiban mubârokan fîhi (Rabb kami, milik-Mu lah segala pujian yang banyak, baik dan diberkahi)”.[1]
Selesai shalat beliau bersabda, “Siapakah yang mengucapkan bacaan tadi?”.
Laki-laki tadi menjawab, “Saya”.
Beliau menjelaskan, “Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba siapakah yang menulisnya pertama kali”. HR. Bukhari.
b. Allôhumma robbanâ lakal hamdu mil’as samâwâti wa mil’al ardhi, wa mil’a mâ syi’ta min syai’in ba’du.
Dalilnya: hadits yang disampaikan Ibnu Abi Aufa radhiyallahu’anhu,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ ظَهْرَهُ مِنْ الرُّكُوعِ قَالَ: “سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ”.
   “Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam jika mengangkat punggungnya saat bangkit dari ruku’, beliau membaca: “Sami’allôhu liman hamidah. Allôhumma robbanâ lakal hamdu mil’as samâwâti wa mil’al ardhi wa mil’a mâ syi’ta min syai’in ba’du (Allah mendengar siapa yang memuji-Nya. Ya Allah, Rabb kami, punya-Mu lah segala pujian seluas langit dan bumi serta seluas apapun selainnya sesuai kehendak-Mu)”. HR. Muslim.
Dan masih ada redaksi lain yang berlandaskan hadits sahih[2].

3. Setelah shalat.                                       
Jumlahnya boleh 33 kali, juga boleh 10 kali[1].
Dalilnya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ، وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ: “لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ”؛ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ”.
“Barang siapa bertasbih kepada Allah setiap selesai shalat 33 kali, bertahmid 33 kali, bertakbir 33 kali, dan ini berjumlah 99 kali, lalu menutupnya di hitungan ke seratus dengan: “Lâ ilâha Ilallôhu wahdahu lâ syarîka lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alâ kulli syai’in qadîr”; niscaya dosa-dosanya akan diampuni walaupun sebanyak buih di lautan”. HR. Muslim.
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ، هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ. يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا، وَيَحْمَدُ عَشْرًا، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا؛ فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ. وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ، وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ؛ فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَان. فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُهَا بِيَدِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ؟ قَالَ يَأْتِي أَحَدَكُمْ يَعْنِي الشَّيْطَانَ فِي مَنَامِهِ فَيُنَوِّمُهُ قَبْلَ أَنْ يَقُولَهُ وَيَأْتِيهِ فِي صَلَاتِهِ فَيُذَكِّرُهُ حَاجَةً قَبْلَ أَنْ يَقُولَهَا”.
“Ada dua amalan, yang jika senantiasa dijaga seorang muslim; niscaya ia akan masuk surga. Keduanya mudah, namun yang mengamalkannya sedikit. (Amalan pertama): bertasbih setiap selesai shalat 10 kali, bertahmid 10 kali dan bertakbir 10 kali, semuanya berjumlah 150 di lisan, namun tertulis 1500 pahala di timbangan. (Amalan kedua): Bertakbir sebelum tidur 34 kali, bertahmid 33 kali serta bertasbih 33 kali; semuanya berjumlah 100 di lisan, namun tertulis 1000 pahala di timbangan.
Aku telah melihat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menghitungnya dengan tangannya.
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, jika kedua amalan tersebut ringan, mengapa yang mengamalkannya sedikit?”.
“Sebab setan mendatangi salah satu kalian sebelum tidur dan membuatnya mengantuk sebelum membaca dzikir tersebut. Juga mendatanginya saat shalat lalu mengingatkannya dengan (berbagai) urusan sebelum ia sempat untuk mengucapkan dzikir tersebut”.
HR. Abu Dawud dan isnadnya dinilai sahih oleh Imam an-Nawawy[2]. Adapun Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini sahih[3].

4. Di awal khutbah, pelajaran, serta di awal buku dan yang semisal.
Dalilnya: hadits yang disebutkan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu:
“عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ”.
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengajari kami khutbah al-hajah (pembuka urusan) dengan mengucapkan: “Alhamdulillâh, nasta’înuhu wa nastaghfiruh, wa na’ûdzu bihi min syurûri anfusinâ, man yahdillâhu fa lâ mudhilla lah, wa man yudhlil fa lâ hâdiya lah, wa asyhadu al lâ ilâha illallâh, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosûluh (Segala puji bagi Allah. Kami mohon pertolongan, ampunan dan perlindungan pada-Nya dari kejahatan diri kami. Barang siapa dikaruniai hidayah dari Allah, niscaya tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa disesatkan-Nya niscaya tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya)…”. HR. Abu Dawud.[1]

5. Saat mendapat kenikmatan atau terhindar marabahaya, baik itu berkenaan dengan diri sendiri maupun orang lain.
Di antara dalilnya: hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:
“Saat malam kejadian isra’ di Elia (Palestina) Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dihadapkan dengan dua buah mangkok; pertama berisi khamr dan yang kedua berisi susu. Beliau pun melihat keduanya, lalu mengambil mangkok yang berisi susu.
Malaikat Jibril pun berucap, “Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah) Yang telah memberimu petunjuk kepada fitrah. Andaikan engkau mengambil khamr; niscaya umatmu akan sesat”. HR. Bukhari dan Muslim
6. Ketika memakai pakaian baru.
Dalilnya: hadits Abu Sa’id al-Khudry:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَجَدَّ ثَوْبًا سَمَّاهُ بِاسْمِهِ إِمَّا قَمِيصًا أَوْ عِمَامَةً، ثُمَّ يَقُولُ: “اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ، أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ”.
“Jika Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam memakai pakaian baru, beliau menyebutkannya, entah itu baju atau sorban, lalu membaca, “Allôhumma lakal hamdu Anta kasautanîhi, as’aluka min khoirihi wa khoiri mâ shuni’a lah, wa a’ûdzubika min syarrihi wa syarri mâ shuni’a lah (Ya Allah, kepunyaan-Mu lah segala pujian. Engkau yang telah memberiku pakaian ini. Aku memohon pada-Mu kebaikan pakaian ini dan tujuan pembuatannya, serta aku memohon perlindungan pada-Mu dari keburukannya dan keburukan tujuan pembuatannya)”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Imam an-Nawawy[2].


7. Saat bersin.
Bersin merupakan salah satu nikmat besar Allah atas para hamba-Nya, dengan bersin seorang hamba bisa mengeluarkan sesuatu dalam hidung yang jika dibiarkan bisa berbahaya bagi tubuh. Karena itulah, ketika bersin, seorang hamba diperintahkan untuk memuji Allah dengan mengucapkan hamdalah.

Dalilnya: Sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ”، وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ: “يَرْحَمُكَ اللَّهُ” فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَلْيَقُلْ: “يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ”.
 ”Jika salah satu kalian bersin ucapkanlah, “Alhamdulillah”. Temannya hendaklah mengatakan, “Yarhamukallôh (Semoga Allah merahmatimu)”. Jika temannya membalas demikian, hendaknya ia mengucapkan “Yahdîkumullôhu wa yushlihu bâlakum (Semoga Allah mengaruniakan padamu petunjuk dan memperbaiki hatimu)”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Namun apabila seseorang bersin lebih dari tiga kali, maka tidak perlu lagi mengucapkan Yarhamukallôh”. Namun doakan untuknya kesembuhan; karena itu pertanda ia sedang sakit. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan,
“شَمِّتْ أَخَاكَ ثَلاَثًا، فَمَا زَادَ فَهُوَ زُكَامٌ”.
“Doakan saudaramu saat bersin tiga kali. Tetapi bila lebih, maka itu adalah sakit”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinilai hasan oleh al-Albany.
Adapun jika orang yang bersin tidak mengucapkan “Alhamdulillah”, maka ia tidak berhak untuk didoakan Yarhamukallôh”. Sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahu’alaihiwasallam  di dalam sabdanya, “Jika salah satu di antara kalian bersin lalu ia mengucapkan “Alhamdulillah”, maka doakanlahYarhamukallôh”. Namun bila tidak mengucapkan “Alhamdulillah”, maka janganlah doakanYarhamukallôh”. HR. Muslim dari Abu Burdah radhiyallahu’anhu.
8. Ketika melihat orang lain mendapatkan cobaan baik dalam hal duniawi maupun agama.
Cobaan duniawi contohnya: cacat, buta, tuli dan yang semisal. Cobaan agama contohnya: tenggelam dalam kemaksiatan, bid’ah dan yang semisal.
Dalilnya: hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“مَنْ رَأَى مُبْتَلًى فَقَالَ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا”؛ لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ الْبَلَاءُ”.
“Barang siapa melihat orang yang mendapatkan cobaan lalu ia mengucapkan, “Alhamdulillâhilladzî ‘âfânî mimmabtalâka bihi, wa faddholanî ‘alâ katsîrin mimman kholaqo tafdhîlâ (Segala puji bagi Allah yang telah menghindarkanku dari cobaan yang menimpamu, serta  memuliakanku dibanding banyak makhluk-Nya)”; niscaya ia tidak akan diuji dengan cobaan tersebut”. HR. Tirmidzy dan dinyatakan hasan oleh beliau dan Syaikh al-Albany.
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Jumada Tsaniyah 1435 / 21 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar